Kamis, 11 September 2014

Nostalgia Musim Panen: Ketemu Jodoh di Bulan Purnama







Capeknya saat panen lega rasanya setelah padi terkumpul di lumbung



 Musim panen padi di sebagian wilayah di Sumatera Utara, biasanya berlangsung antara bulan Juni hingga Juli, tahun ini usai sudah. Khususnya di sebagian wilayah Tapanuli, bulan Juni-Juli adalah saatnya  para petani menarik napas lega. Setelah sekian lama banting tulang memeras tenaga dan keringat, maka di musim panen, terbayar lunas lah segala jerih payah yang membuat tubuh letih dan timbangan badan berkurang.
Boleh dikatakan, di Indonesia sebagai negeri agraris, musim panen satu-satunya musim di mana rakyat petani kembali mengumbar senyum. Tapi dengan catatan, asalkan hasil panen bagus, tanpa gangguan cuaca ekstrim atau hama perusak tanaman. Di benua Eropa dan sebagian Asia, ada saatnya ketika musim panas tiba, ada pula musim semi, musim gugur, musim dingin, musim salju. Beruntunglah di Indonesia, hanya ada musim hujan,musim kemarau, dan bolehlah disebut lagi musim panen. Kalau mau sedikit humoria, boleh juga ditambahkan sekali lima tahun di negeri ini ada musim memilih-milih kepala daerah, anggota legislatif, memilih presiden, dan yang paling mendasar pemilihan kepala desa (pilkades).
  Petani di sebagian Sumatera Utara tahun ini bolehlah mengelus dada melepas rasa lega, karena hasil panen padi lumayan bagus. Meski ada kecenderungan cuaca terkadang ekstrim, tak sampai menganggu produktivitas. Hal itu diakui instansi terkait Dinas Pertanian , bahwa panen raya tahun ini cukup menggembirakan. Yang tidak bergembira pada musim panen adalah apabila ada di antara petani, seusai banting tulang memetik hasil sawahnya, kembali ke titik nol akibat dililit utang. Itu sering terjadi pada sebagian warga tani. Terkadang bisa memetik hasil sampai 200 hingga 300 kaleng padi, tapi tinggal sekitar 50 kaleng ketika pengijon datang menagih. Itu pernah diakui seorang ibu petani di salah satu desa di Siborongborong saat berbincang dengan Ekspresiana bulan lalu. Ibu itu bersama tiga anaknya memiliki luas sawah yang lumayan. Normalnya, kalau panen mendapat 300 sampai 400 kaleng padi (bersih). Tapi, berhubung ada keperluan insidentil, biaya kulaih anak termasuk biaya adat meninggalnya suami, ibu inipun terpaksa mengutang dengan janji bayar panen. “Begitulah kami petani, jangan sempat berutang, karena sekali berutang maka bertahun-tahun tetaplah begini,” katanya polos.
Bernostalgia di musim panen tempo dulu, saya sering ke kampung nenek saat masih anak SD. Indahnya suasana melihat para remaja ketika itu punya jiwa gotongroyong yang tinggi, saling bahu membahu memetik hasil sawah sesama. Dulu, nyaris tak ada terdengar istilah gajian. Bukan seperti sekarang, sistem kebersamaan di musim panen itu sudah makin memudar. Apa tak ada lagi cara gotongroyong seperti dulu ? Warga bilang, itu sudah sulit. Kalaupun kerjasama itu masih ada, ya imbalannya berbalas dengan membantu petani yang sudah dibantu. Tapi yang begitu pun sudah susah. Makin berkurangnya tenaga muda-mudi di desa membuat keluarga petani saat musim panen jadi uring-uringan. Mau menggaji orang pun terkadang susah. Soalnya banyak pemuda desa lebih memilih mandah jadi kuli bangunan dari pada tinggal di desa mengusahai sawah orang tua. Jangankan pada musim panen, sejak musim membajak sampai masa panen, sudah susah cari tenaga kerja. Untunglah sudah makin banyak hand-tractor dioperasikan saat ini, bisa meringankan petani membajak sawahnya.
Sejalan dengan kemajuan zaman, banyak sudah terjadi pergeseran nilai di lingkungan desa, termasuk dalam hal panen tadi. Saya teringat dulu ketika sering berkunjung ke kampung nenek di Desa Hutabarat sana, jarang ada orang tua yang ikut turun ke sawah memetik hasil panennya. Umumnya muda-mudi penuh semangat dan dengan ceria bergabung memotong padi hingga proses mempreteli biji padi.Dulu masih menggunakan kaki menginjak-injak batang berisi padi yang digelar di atas tikar anyaman. Di kampung saya itu disebut “mardege” (menginjak-injak padi yang sudah dipotong dan dikumpulkan dengan kaki). Sering hal itu dilakukan hingga malam hari, memakai penerangan lampu gas (strongking) atau lampu obor. Tapi lebih indah saat bulan purnama, tak perlu lagi pakai obor atau lampu gas. Ada pemuda yang membawa gitar, saat istirahat asyik menyanyi. Namanya juga orang Batak, umumnya piawai main gitar dan nyanyi. Bayangkan, kerja keras di sawah malam hari, lalu ada penerangan bulan purnama. Duh asyik dan romantisnya.
Tante saya sering menyebut “cinta bersemi di musim panen”. Dia salah satu contohnya. Di masa muda dulu tahun 60 an, tante saya itu sering ikut panen gabung dengan pemuda dari luar kampung. Saking asyiknya panen bareng di tengah sawah, cinta pun bersemi, dirajut hingga berakhir ke perkawinan.” Saya memang ketemu jodohnya di sawah ketika musim panen,tak terlupakan saat itu bulan purnama pula,” kenang tanteku terbahak.
Bukan hanya tante saya yang ketemu jodoh di musim panen jaman dulu itu, ketika lampu listrik masih impian orang desa. Ketika bulan purnama begitu disanjung sebagai dewi asmara yang memberkati orang muda kasmaran. Di banyak desa, kisah-kisah nostalgik seperti itu selalu ada. Awalnya pemuda datang bertandang ke kampung si gadis. Kebetulan saat itu lagi mau panen raya. Ya kalau si pemuda sudah naksir sama si gadis, berat dong menolak kalau diajak ikut membantu panen. Mulanya biasa saja, seperti lirik lagu Pance. Berbincang seadanya, lalu makin melekat di tengah gatalnya jerami dan hujan gerimis.
Di kota kenangan saya, Tarutung, yang dikelilingi areal persawahan dan pegunungan seperti di Napel Italia, kini terasa banyaknya pergeseran yang terjadi. Tak hanya romantisme di musim panen makin pudar, juga areal persawahan makin menciut, dengan makin banyaknya lahan persawahan terjual untuk pertapakan rumah-rumah baru. Dulu, sejauh mata memandang dari dataran tinggi sebelah Barat dan Timur, persawahan terhampar indah menjadi suatu silhoute yang membuat mata ini nyaman hati berbunga. Sekarang panorama hijau itu tinggal kenangan. Di sana-sini, bahkan di tengah sawah, sudah banyak bangunan rumah berdiri. Tak sedap lagi dipandang mata. Tiada lagi pemandangan musim panen malam hari, ketika rombongan anak muda dan gadis remaja bersendagurau di tengah sawah. Kini remaja desa sudah nongkrong nonton tv di rumah, atau jalan-jalan naik sepeda motor ke mana-mana.
Ah, berlalu sudah ya, begitu keluh seorang anak rantau yang pulang mudik di musim liburan sekolah baru-baru ini. Seraya mengerutkan kening, ingin mereview kenangan indah masa silam yang tak mungkin hadir kembali. Kemajuan di semua lini kehidupan, pergeseran mindset, pergeseran nilai budaya, membuat semuanya serba berubah. Masih adakah cinta bersemi di musim panen? tante saya yang ceria dan sudah jadi ibu elit di Jakarta, menggeleng kepala.”Entahlah, tapi yang jelas panen raya sekarang jauh beda dengan masa kami remaja dulu.” Yalah tante, namanya juga sudah zaman milenium.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar