Jumat, 26 September 2014

Danau Toba:Antara Berkat , Mitos, Tragedi, dan Atraksi







Lomba Solu Bolon 2014 di Muara. Danau Toba itu berkat.

Danau Toba itu indah, sudah diakui secara universal. Dan danau ini berkat bagi Sumatera Utara, khususnya bagi daerah yang terkait secara geografis dengan Danau Toba.
Tapi, di balik keindahan itu terkadang ada kesan angker, manakala terjadi musibah. Sejak dulu, sudah ada berbagai kejadian yang mewarnai kesan angker danau terbesar di Indonesia itu. Kapal tenggelam atau manusia mati terbenam bukanlah peristiwa yang asing di danau ini. Musibah kapal terbesar terjadi saat KM Peldatari tenggelam pada 1997. Puluhan penumpang tewas tenggelam, ketika kapal motor yang kelebihan penumpang saat itu tenggelam, saat akan menepi ke pelabuhan Tomok. Para penumpang adalah penduduk Samosir yang mau pulang seusai dari menonton pagelaran Pesta Danau Toba di Parapat yang menampilkan artis top Jakarta.
Karena kejadian-kejadian tragis di seputaran Danau Toba itu, acap terdengar komentar-komentar yang mengaitkan dengan mitos. Bagi sebagian yang percaya, danau itu ada “penghuninya”. Kalau ada peristiwa tragis, seolah-olah penghuni minta tumbal atau korban. Pada hal, mungkin saja itu rekayasa berlatar mitos yang diwariskan orang-orang terdahulu. Tapi, bagi orang yang berpikiran rasional, kisah-kisah berbau mistis itu ditepis dengan penguatan pada keyakinan takdir yang tak terelakkan manusia. Banyak pula warga yang masih yakin dengan kisah legenda terjadinya Danau Toba. Konon, berawal dari terbongkarnya rahasia seorang perempuan jelmaan ikan yang kawin dengan pria penjala ikan. Satu saat pria itu lupa janjinya tak akan mengungkap identitas perempuan yang dikawininya itu, gara-gara anaknya telat mengantar makanan. Karena amarah meluap, keluarlah ucapan si lelaki menyumpahi anaknya dengan kata-kata,”dasar anak ikan.” Si anak pun mengadu pada ibunya. Di situlah terjadi malapetaka hebat. Gunung meletus menebar lahar dan banjir tak terbendung, hingga terbentuknya sebuah danau maha besar.
Kisah itu tentu kontradiktif dengan deskripsi para ilmuwan yang cenderung pada perhitungan ilmiah, terjadinya erupsi gunung Toba ribuan tahun silam yang menjadikan danau. Tapi, benar tidaknya mitos tentang pria beristerikan perempuan cantik jelmaan ikan itu, kisahnya dari masa ke masa tetap hidup dan dihidupkan. Bahkan pada Festival Danau Toba 2014 yang baru digelar September ini, kisah legenda itu dikemas panitia menjai salah satu sisi yang diharapkan mengundang atensi pengunjung.
Dan Festival Danau Toba 2014 yang sudah ditutup pada 21 September lalu, kembali mencuatkan ragam pendapat orang. Pada pagelaran Lomba Solu Bolon (perahu besar) yang selalu ditampilkan pada event-event pesta budaya di seputaran Danau Toba, kehebohan pun timbul lagi. Seorang peserta lomba diberitakan tewas tenggelam pada hari ke empat, seperti dilansir media cetak maupun online.
Festival Danau Toba (FDT) 2014 hari ke-4  memakan korban. Itulah tajuk pemberitaan halaman utama beberapa suratkabar terbitan Medan dan lokal. Ribuan pengunjung dan masyarakat yang sejak pagi berada di sekitar arena kegiatan FDT dihebohkan oleh beredarnya  kabar tentang  salah seorang peserta lomba perahu tradisional atau Solu Bolon meninggal dunia di arena lomba di salah satu pantai di Lumban Silintong persisnya di depan Hotel Gelora, Sabtu (20/9).
Berdasarkan informasi dari berbagai pengunjung maupun peserta yang dihimpun wartawan  menyebutkan, peserta yang meninggal itu bernama Martahi Tambunan (24) warga Desa Tambunan Lumbangaol, Kecamatan Balige. Martahi diduga meninggal akibat kelelahan setelah ikut bertanding dalam babak penyisihan. Bapak 5 anak yang sehari-harinya bekerja sebagai nelayan itu ikut memperkuat Tim Lumbangaol untuk mengikuti pertandingan Solu Bolon itu.
Lomba Solu Bolon meramaikan FDT 2014 yang dilaksanakan Kementerian Pariwisata dan Dinas Pariwisata Provsu itu diikuti 16 tim masing-masing Tim Sibolga-A, Tim Sariburaja, Tanjung Balai, Sibolga-B, Hisori Huma Bane, Tim Danau Toba, Lugahon, Uluan, Solu Dainang, Lumbangaol, Santo Mikhael, Horsi, PT Angkasa Pura II, Taput, Serdang Bedagai dan Tim Humbahas.
Martahi dan rekan-rekan satu Tim Lumbangaol saat bertanding berusaha sekuat tenaga berlomba mendayung perahunya, hingga akhirnya tim mereka berhasil masuk semi final. Setelah menyelesaikan finish, seluruh peserta terlihat sangat kelelahan termasuk Martahi.
Ketika seluruh rekannya bersiap-siap untuk melakukan pertandingan di semi final, Martahi tiba-tiba tergeletak dengan kondisi lemah. Dalam kondisi pingsan, rekan-rekannya dibantu panitia melarikan Martahi ke Rumah Sakit HKBP Balige dan akhirnya diinformasikan meninggal dunia.
Salah satu petugas RS HKBP bermarga Sitompul yang ditanyai menjelaskan,  Martahi saat tiba di rumah sakit pukul 14.15 WIB dengan kondisi lemah, mengeluhkan  ada sesak di bagian dada  menjalar ke punggung. Saat dalam penanganan medis,  Martahi merasa kesakitan hingga kondisinya drop dan meninggal dunia pukul 15.00 WIB. Jenazahnya dibawa ke rumah duka yang disambut jerit tangis pihak keluarga. Sedangkan isterinya sedang berada di luar kota. Menurut adik almarhum, jenazah Martahi Tambunan dikebumikan hari Minggu (21/9).
Peristiwa itu membuat para pengunjung yang memadati arena perlombaan heboh begitu melihat ada salah satu peserta lomba digotong. Sejumlah pengunjung banyak berceloteh, Panitia FDT 2014 sejak awal kurang profesional. Bahkan, ambulans pun tidak tersedia di dekat arena perlombaan Solu Bolon. Panitia jadi bulan-bulanan kritik, seperti biasa saat Pesta Danau Toba digelar.
Pengunjung lainnya dari Siantar pun mengaku bingung saat akan menonton beberapa pertandingan dan kegiatan seperti Monsak atau pencak silat Batak, Marultop, Solu Bolon, Marjalengkat yang tidak jelas informasinya, jadwalnya bahkan lokasi pelaksanaannya.
Sehingga para pengunjung lebih banyak menghabiskan waktu melihat-lihat stand-stand pameran produk industri kreatif  dari sejumlah kabupaten/kota, Pemprovsu maupun pihak swasta dan BUMN yang digelar di Lapangan Sisingamangaraja XII Balige.
Tak hanya koran lokal yang mengkritik penyelenggaraan FDT. Koran Sindo terbitan Senin 22 September 2014 misalnya mengangkat judul headlinenya “Festival Danau Toba Usai Tanpa Kesan”. Pelaksanaan festival yang ditutup Minggu (21/9) di Balige, kabupaten Tobasa, menurut Koran Sindo seakan tanpa kesan. Acara ini memperkuat tidak adanya sinkronisasi dengan pengembangan pariwisata Danau Toba. Komentar cukup pedas datang dari Saut Poltak Tambunan, seorang novelis seperti dikutip wartawan. Menurutnya apa yang disajikan melalui berbagai atraksi tidak trelevan dengan upaya pengembangan pariwisata Danau Toba. “Saya sangat kecewa,” cetus Saut Poltak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar