Satu kebanggaan bagi kita bangsa Indonesia yang
kaya dengan budaya,tradisi, hingga aneka resep kuliner lokal. Lezatnya
makanan lokal tak kalah “mak nyus”, meski makanan luar makin membanjiri
negeri ini. Tergantung selera seseorang, makanan khas lokal selalu
dirindukan saat seseorang jauh berada di negeri asing.
Secara khusus, bangsa Indonesia umumnya penyuka sambal. Banyak
jenis sambal spesifik satu daerah atau etnik. Lain sambal orang Deli,
sambal Melayu, sambal belacan Betawi, lain lagi apa yang disebut sambal
tinuktuk (tuktuk) di daerah Batak, lain lagi sambal tuktuk daerah
Sipirok di Tapanuli Bagian Selatan. Setiap etnik di negeri ini boleh
dibilang penyuka sambal pedas. Apakah itu etnik Minang dengan rendang
khasnya, Aceh dengan mi Acehnya yang mak nyus, apalagi sambal Batak yang
kerap dilengkapi biji andaliman seperti sudah saya tulis di kompasiana.
Sambal berperan strategis menambah selera makan,meski pedas mengggigit
di lidah. Ada yang hobi makan dengan mengkombinasi jengkol atau petai
dengan sambal. Makan pun lahap bukan main sampai keringat bercucuran.
Nikmatnya makin tembus ketika usai makan kepedasan dikunci lagi minum
manis panas atau manis dingin kalau di kota berhawa panas seperti
Jakarta, Medan, Pekanbaru.
Saya salut pada saudari Gitanyali Ratitia yang tinggal
di Magdeburg Jerman Timur, 80 kilometer dari Berlin. Meski ia bukan
dari etnik Tapanuli (mungkin), tapi ia antusias dengan spesifikasi
kuliner lokal negerinya, secara khusus resep kuliner Batak. Dia teman saya penulis di Kompasiana.Com, dan
sebagai teman kompasianer saling kirim pesan, sdri Gitanyali tertarik
membaca artikel saya tentang andaliman di kompasiana. Gita pun
menanyakan, apa saya bisa mengirimkannya resep sambal tinuktuk. Wah,
saya merasa terhormat kalau bisa menjelaskannya pada sdri Gita yang jauh
di Jerman sana. Saya kebetulan penyuka sambal tuktuk, jadi saya tak
begitu kesulitan mencatat dan mengirimkannya ke Jerman via kompasiana.
Saya hanya perlu adaptasikan nama-nama bahannya, agar afdol, bisa lebih
dipahami Gita. Ternyata, Gita malah tahu apa itu buah kincung (sihala
namanya di kami), bahkan tahu apa itu yang dimaksud bawang Batak yang
bentuknya panjang-panjang. Menurut Gita, namanya bawang batak itu lokio.
By the way, sambal tinuktuk itu namanya kalau di daerah Simalungun
sana, dan kalau di kampung kami Tapanuli disebut sambal tuktuk. Kalau
sambal tinuktuk biasanya dikombinasi dengan ikan bakar, ikan goreng,
maupun daging bakar. Kalau di Sibolga ada jenis sambal tuktuk (walau di
sana namanya lain) yang dikombinasi dengan ikan segar bakar, disebut
sombom. Uenaknya tak kepalang. Saat lapar menyengat, mau tambah nasi
terus, apalagi makannya di tepi pantai Pandan yang kesohor.
Dalam bentuk paling sederhana, sambal tuktuk di kampung saya
Tarutung paling simpel pembuatannya. Cukup sediakan beberapa biji cabai
merah atau cabe rawit, bawang secukupnya, buah kemiri gonseng lima atau
enam biji, lada secukupnya, campur rias (sejenis kincung atau
kecombrang) yang sudah dibakar tak terlalu hangus, asam dan garam
secukupnya, lalu ditumbuk dengan ikan teri gonseng (boleh digoreng pakai
minyak) diaduk dengan sambal yang sudah ditumbuk, dan ikan teri gonseng
atau kalau ada yang namanya disini ikan asin silakkop ( sejenis ikan
kecil berbentuk bawal yang diasinkan), ditumbuk kasar tak terlalu halus.
Jadilah itu sambal tuktuk Tarutung namanya. Tak terlalu merepotkan,
asalkan ada kemiri gonseng, rasanya enak apalagi kalau makan dengan nasi
panas baru ditanak.
Untuk sambal tinuktuk yang lebih lengkap seperti saya kirimkan
untuk sdri Gitanyali di Magdeburg, Jerman, juga tak begitu sulit
meraciknya. Masalahnya, apakah di negerinya Adolf Hitler itu ada bahan
tradisionalnya seperti yang ada di Indonesia sini. Resep sambal tinuktuk
yang saya tahu sejak dulu dari almarhumah nenek dan ibu saya, seperti
di bawah ini:
1. Kencur 1/4 kg (dikupas/diiris)
2. Jahe 1/4 kg (dikupas/diiris)
3.Bawang merah secukupnya (dikupas/diiris)
4. Bawang putih secukupnya (dikupas/diiris)
5. Lada hitam kira-kira setengah muk kecil
6. Kemiri 15 atau 20 biji ( dikupas )
7. Garam secukupnya
8. Bawang batak (menurut sdri Gita namanya itu lokio) satu ikat
9. Buah kincung (di kami namanya disebut sihala) dan kata sdri Gita namanya kecombrang. Buah ini punya cairan asam yang khas.
CARANYA: Bahan-bahan yang sudah siap digonseng secara terpisah.
1. Lada dan garam digonseng, tak usah sampai hitam
2. kemiri digonseng sampai batas jangan terlalu gosong
3. Kencur, jahe,bawang merah, bawang putih,bawang batak digonseng
Ketiga bahan yang sudah digonseng diulek secara terpisah.Setelah
halus, ditampi dengan nyiru untuk mendapatkan serbuk paling halus.
Serbuk sisanya yang masih kasar diulek lagi hingga halus, begitu
seterusnya. Bahan yang sudah diulek disatukan dan ditumbuk lagi
sekalian. Kemudian buah kincung (sihala) ditumbuk diperas dan air
perasan itu menjadi semacam cairan asam untuk sambal tinuktuk.
Tergantung selera pedas seseorang, boleh juga digabung cabe rawit
sedikit kira-kira 10 biji untuk mencipta rasa yang plus.
Rasa sambal tinuktuk ini bagi banyak orang Sumut membuat
ketagihan. Rasanya sangat khas, gurih dan rasa ppedasnya berasal dari
lada. Karena itu ada juga yang bilang sambal ini sebagai sambal lada,
ataukah ini asal nama sambalado yang kesohor?
Bahan-bahan tadi sebenarnya ada tersedia di pasar-pasar
tradisional. Tak tahu apakah di Eropa seperti Jerman juga mudah
didapat.
Konon, pada masa silam, wanita Batak yang baru melahirkan selalu
dianjurkan makan sambal tinuktuk. Misalnya sebagai pelengkap lauk saat
makan dan cocolan untuk sayuran. Mungkin juga untuk menghangatkan tubuh
si ibu karena baru melahirkan.
Itulah sekadar yang bisa saya sharing, berawal dari korespondensi
saya dengan Gitanyali Ratitia di Magdeburg Jerman. Mudah-mudahan bisa
dibuat di Jerman, dan juga berguna bagi kompasianer lainnya yang suka
dengan aneka sambal Indonesia.
Oh ya, Sdri Gita sedikit mengeluh soal buah kincung tadi. Di sini
(Jerman) tak ada bang, tulis dia. Itu kan namanya kecombrang bahasa
Indonesianya.Kalau bawang batak namanya lokio, bisalah diganti dengan
bawang dan daunnya. Tapi nanti kalau ada teman pulang kampung ( ke
Indonesia) saya mau nitip kincungnya.
Ok dah sdri Gita, selamat mencicipi sambal tuktuk di negeri Jerman.
Nanti kalau pulang ke Indonesia bolehlah lebih gampang meraciknya.
Horas tiga kali.(Leonardo TS,Sumatera Utara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar