Rabu, 10 September 2014

STORY: Ditakko si Salomo Roha Ni si Lasma

 
Kau curi hati dan cintaku. (Illust:flickr)
(STORY Batak)  Salomo si Pencuri Hati
               Ima mulana. Itulah awalnya. Mata bertemu mata. Hati berdebur seperti deburnya  ombak lautan. Debaran jantung itu membuat pikiran tak karuan. Gelisah, makan kurang selera, tidur tak nyenyak, terkadang mata sulit terpejam. Angan pun mengangkasa entah kemana-mana.
                Ada apa ini, tak pernah begini sejak aku menjanda, bisik Lasma bertubi-tubi dalam hati. Sudah lima tahun ia mempertahankan kejandaannya demi si Butet putrid semata wayangnya, baru kali ini merasa seperti ditancap panah amor. Padahal, selama lima tahun ini bolak-balik pria, duda maupun doli-doli, datang menabur cinta padanya. Semua ditolaknya dengan tegas. “Maaf ito, maaf amang, aku masih menutup pintu untuk kawin lagi,” begitu jawabnya, senantiasa.
                Soalnya, Lasma takut,nanti si Butet yang imut-imut itu jadi korban. Banyak kejadian, saat melamar seorang janda beranak, pria menabur iming-iming begini begono. Akan menyayangi anakmu sepenuh jiwa raga, akan menganggapnya sebagai anak kandung. Kenyataannya, seperti dituturkan si Serepina temannya yang juga janda, sejak ia diperistri lagi pensiunan itu, malah suka mengamuk tak menentu. Dua anak Serepina yang masih berumur empat dan enam tahun sering kena tempeleng. “Aku menyesal Lasma, menyesal amat. Tapi, mau minta cerai aku juga berpikir sepuluh kali. Soalnya namaku sudah masuk daftar pension suami baruku itu. Aku hanya berharap bisa menyekolahkan kedua anakku minimal tamat SMA.”
                Awalnya Lasma terbayang-bayang pada Salomo, pemuda yang sering main gitar di teras rumah tak jauh dari rumahnya. Pemuda itu baru seminggu menumpang di rumah kerabatnya marga Hutabarat di Dusun Natundal. Tampang lumayan tampan, bodi atletis, senyumnya menawan. Tapi, bukan cuma itu yang bikin hati Lasma tertawan. Kepiawaian Salomo memetik tali gitar sungguh melecut jiwa. Apalagi suaranya ketika menyanyi di malam hari yang sepi. Semuanya lagu sentimental. Lagu Mercys bisa, Panbers bisa, Pance Pondaag, lagu Batak apalagi. Lasma merasa terhibur sekali. Gara-gara Salomo sering menyanyi itu, Lasma sudah sering absen menongkrongi sinetron di tv.
                Lagu yang paling kerap dilantunkan Salomo, dan ini yang membuat Lasma makin penasaran dan gelisah, jika Salomo menyanyikan lagu Batak Ditakko ho rohakki. Itu lagu ngetopnya Arvindo Simatupang. Rasanya mendidih kerinduan Lasma ikut nyanyi bareng dekat Salomo. Dulu juga Lasma sering ikut kor naposo di gereja. Setiap malam minggu, ramai-ramai sama teman naposo ke gereja marguruende. Lasma sering ditunjuk guru huria menarik refrain bernada tinggi. Suara Lasma lumayan bagus, kata voorganger Lubis memuji.
                Malam ini, lagi-lagi Salomo menyanyikan lagu itu lagi. Sudah jelang tengah malam, sehingga suaranya terdengar lebih jelas, begitu indah mengalun. “ Ima mulana sai huingot ho, gabe masihol au tu hooo, ditakko ho ma rohakki ito, dibuat ho nang holongki…” Aduh mau mati rasanya Lasma mendengarnya. Kenapa ia suka nyanyikan lagu itu? Jangan-jangan lagu itu sengaja ditujukan pada diriku? Lasma berandai-andai, tapi jadi malu sendiri. “Ah, nggaklah ah, ngelantur aku ini,” pekiknya dalam hati.
                Serepina yang memperkenalkan Salomo, suatu malam saat pameran Hari Jadi Tapanuli Utara di Tarutung. “Salomo,” kata pemuda itu,kalam. “Lasma,” sahut Lasma juga, kalam. Tanpa menyebut marga. Keduanya saling lempar senyum. Serepina juga senyum pada Salomo, lalu senyum lagi pada Lasma. Apa-apaan kau Pina, koq senyum sama aku tadi. “Eeh, memangnya salah senyum?” Lasma mencubit lengan Serepina,” Gak salah, tapi senyummu padaku seperti ada apa-apanya.”
                Ada surprise malam itu, ketika Salomo naik panggung hiburan. Salomo langsung menyanyi diiringi band panggung.  Ada tiga lagu, semuanya dinyanyikan dengan baik. Salah satunya lagu lama dari  Charles Hutagalung Mercys, berjudul “Love”.Pengunjung pameran tumpah ruah mengerumuni panggung. Petugas Satpol sibuk mengamankan situasi, karena ada pejabat dan istri nonton di depan panggung. Suara minta tambah bergemuruh sambil melambaikan tangan pada Salomo. Pada lagu keempat Salomo menyanyikan lagu “Ditakko ho rohakki”, yang awalnya dipopulerkan Arvindo . Di ruang telinga Lasma, lagu itu lebih enak dinyanyikan Salomo dibanding penyanyi aslinya.
                Sepulang ke rumah, Lasma berkata pada Serepina.” Salomo suka lagu tadi ya Pin. Kalau nyanyi malam-malam di teras rumah tulang Hutabarat, selalu lagu tadi yang dinyanyikan. Serepina tersenyum,berkata,” Yah siapa tau lagu itu ditujukan khusus pada seseorang yang mencuri hatinya. Makna lagu itu kan tentang hati yang tertawan oleh perasaan cinta.”
                Hari-hari berikutnya, kegelisahan Lasma makin membuatnya galau. Lasma tidak tahu kalau suatu ketika Serepina ngobrol dengan Salomo tentang dirinya.” Sebenarnya dia sudah janda ito Lomo, dia cerai dari suaminya yang selingkuh dengan perempuan lain. Anaknya ada satu, perempuan, namanya Butet,” kata Serepina pada Salomo. “ Aku sudah tau itu koq. Tapi entah kenapa ya aku merasa jatuh cinta sama dia,” kata Salomo pada malam ketika Serepina datang martandang ketika Salomo sedang duduk di teras rumah pamannya. Serepina tertawa berderai.” Ah yang benar kamu ito, begitu banyak anak gadis yang berlari ke pangkuanmu, kenapa cinta sama janda?”
                Salomo rupanya serius.” Aku gak main-main ito Pina. Sejak pertama melihatnya, aku terus memikirkannya. Kau tau Pin, seharusnya aku sudah ke Jakarta tiga hari yang lalu, tapi kutunda sebelum aku bertemu dia empat mata.”
                Keseriusan Salomo  disampaikan Serepina pada Lasma. Jawaban Lasma awalnya bertentangan dengan hati nuraninya. Biasa. Anak perempuan suka menutup perasaan, apalagi menyangkut pria.”Aku sudah janji pada diriku Pina, menutup jendela hati pada yang namanya lelaki. Aku ingin fokus membesarkan si Butet. Aku masih trauma dengan perkawinan pertamaku.”
                “ Jangan dustai dirimu Lasma. Dari bola matamu kutahu kau juga memendam perasaan yang sama seperti dirasakan Salomo. Jangan mau dipecundangi trauma. Kau masih muda, masih panjang hari-hari yang akan kau jalani. Benar, dari satu sisi prinsipmu bisa kubenarkan. Tapi di sisi lain, sikapmu tak rasional. Aku yakin Salomo itu orang baik, aku sudah ngomong sama tulangnya Hutabarat. Salomo sudah bekerja tetap di perusahaan asing, dia ke sini hanya menghabiskan cutinya. Siapa tau ini jalan yang diberikan Tuhan mengobati luka hatimu, siapa tau ini gerbang meraih kebahagiaan yang kau impikan.”
                Minggu pertama September, Serepina mempertemukan Salomo dengan Lasma  sore hari bergerimis di sebuah kafe, di tepi Aek Sigeaon. Tak lama kemudian Serepina meninggalkan Salomo dan Lasma berdua, alasannya mau beli sesuatu ke toko. “Jangan lama-lama Pin, nanti si Butet nangis kalau terlalu lama pulang,” kata Lasma. Tak boleh terlalu canggung,pikir Lasma. Dia kan masih anak muda, sedang aku sudah janda. Kenapa jadi aku yang grogi?
                Percakapan mengalir lancar seperti lancarnya arus sungai mengalir ke Selatan. Terkadang ketawa cekikikan manakala ada yang lucu. “Ah, nagodang hatam ito, masyak aku dipatudos Citra Bunga Lestari. Gooombal,ah,” Lasma merajuk,manja. Mimik wajahnya di mata Salomo makin menarik. Tampak olehnya bibir Lasma yang tipis merekah, deretan gigi yang rapi bersih, dan setitik tahi lalat kecil di ujung bibir sebelah kiri. Tahi lalat itu bermain manja, setiap Lasma tertawa. “Wow cantik amat janda yang satu ini, “ bisik Salomo. Hatinya berdebur tak karuan.
                Dari pembicaraan basa-basi, akhirnya menjurus pada topik menyentuh privacy. “ Jadi, ito Lasma sudah cerai betulan sama suami. Maaf to, aku tanyakan ini,” cetus Salomo. Terdiam sejurus, baru Lasma menjawab,” Ya, aku yang mengambil keputusan. Karena dia bukan suami yang setia.”
                Salomo menatap mata Lasma, dan Lasma tertunduk. Rasanya tak tahan menatap mata Salomo . Mata pemuda itu, mata yang menggetarkan hati kewanitaanya. Dalam hati, Lasma berkata,” Huboto do ito, dos do ra  na dibagas rohatta i, songon ende mi si ganup borngin, nunga ditakko ho rohakki. Alai au boru-boru do, dang au jumolo mandokkon Ii tu ho ito…” (Aku tahu yang di dalam hatimu, mungkin sama dengan yang di hatiku, seperti lagu yang kamu nyanyikan saban malam sudah kamu curi hatiku, tapi aku ini perempuan tak mungkin aku duluan mengatakannya).
                Sudah jelang malam, Serepina belum juga muncul. Tampaknya sengaja memberi waktu pada Salomo dan Lasma bicara lebih jauh. Terdengar suara Salomo, lebih pelan, tapi lebih terbuka.” Kalau ada yang mencintai dan mau menyayangi ito dengan hati yang tulus, apa jendela hati ito masih terbuka?” Lasma terkesiap, memandang Salomo dengan jantung berdebar. “Ah, siapalah yang mau mencintai janda seperti aku ito, kamu ada-ada saja,ah.” Bibir Lasma seperti merengut. Bibir itu menggiring ilusi Salomo mengangkasa jauh.
                Dan, Salomo berkata, tegas dan pasti.” Aku ito, aku orangnya. Aku tak main-main. Aku menunda keberangkatanku ke Jakarta, hanya untuk menyampaikan ini pada ito. Aku takut, jika…” Lasma terbatuk sebentar, lalu meneguk air putih dari gelas.” Takut kenapa ito,” kata Lasma setelah batuknya reda. Salomo langsung menyahut,” Takut kalau ito menolak cinta yang ada di sini,” seraya Salomo menunjuk ke arah dadanya. Lasma tertegun, merasakan aliran darahnya simpang siur. Ia menundukkan wajahnya. Ada rasa sungkan bertemu pandang.
                 Saat itu,seorang pria pengendara sepedamotor muncul dan meminggirkan motornya dekat kafe tenda,langsung menegur Salomo. “ Bah, kompak do hamu angka na mariboto ate,” Lasma kenal pria itu. Masih satu marga dengannya. Salomo juga kenal pria itu. “Bah horas amanguda. Ro ma uda, aha do di uda,”kata Lasma. Pria itu malah bertanya pada Salomo,” Ai nandigan do ho ro puang, datung so godang diboan ho hepeng sian ranto. Hubege nunga tabo karejom di Jakarta.”
                Salomo tertawa. Berkata dengan dialek kota,” Ah, biasa uda, biasa saja begini terus.” Pria bernama Marihot itu memotong,” Jangan lagi dilama-lamain, segera cari calon istri, jangan sampai kau lajang tua, lalap di parlalapan di kota besar. Bila perlu bilang sama itomu ini biar dia yang cari, gampang kok, apalagi kau ganteng,” seraya pria itu menoleh pada Lasma. Salomo tertawa-tawa. Lasma tersenyum-senyum. Maksudnya, Salomo cepat cari jodoh jangan sampai terus menjomblo.
                Setelah pria itu berlalu, Salomo bertanya pada Lasma,” Kenapa ito panggil uda sama dia. Aku juga masih panggil amanguda sama dia.” Lasma tertegun sesaat. “ Ya, aku panggil uda karena dari nomor marga kami, dia masih di bawah tutur bapakku almarhum,”
                Salomo tiba-tiba berseru spontan,” Lho,kok bisa sama ya. Aku juga masih panggil uda sama dia, masih satu rumpun ompung dari Sipahutar?” Lasma terkesiap, menatap Salomo tak berkedip.” Ya ampun, bodohnya aku ini, masyak kita sudah kenal, ngobrol begini, duduk makan minum bersama, sampai sekarang tak tahu marga masing-masing. Jadi, ito marga apa sebenarnya?” Salomo menyebutkan marganya. Lasma membelalakkan kedua mata indahnya.” Haaah? Jadi…jadi, ito…”, Lasma membekap mulutnya. Tawanya berderai berkepanjangan. Salomo bingung. “Ada apa ito,kok ada yang lucu?” Lasma masih tertawa sambil menutupi wajah dengan sebelah tangan. “Bukan hanya lucu ito, tapi konyol!!!
Lasma masih terus tertawa. Salomo masih bengong. Ada apa ini, ada apa sebenarnya…
                Untung Marihot  muncul. Seperti ada yang menuntunnya harus bertemu Salomo dan Lasna di pinggir sungai itu. Kalau tidak, dua insan yang ternyata satu marga itu sudah terlanjur basah. Mungkin tak terlanjur menikah. Terlanjur bermesraan juga, celaka 13. Salomo menepuk-nepuk kening, berulang kali geleng kepala dan mohon maaf pada Lasma.” Kalau ada kata lain diatas permintaan maaf, itulah yang mau kukatakan beribu kali lagi,” katanya. Lasma menimpali,” Sama kita ito LOmo,  sama-sama bersalah, masak tak pernah tanya marga sejak awal…tapi, ya sudahlah, lupakan saja itu ito , yang penting bukan kesengajaan.”
                LELUHUR Batak telah mewariskan banyak poda yang tak ternilai yang menjadi kekayaan adat budaya generasi ke generasi.Salah satunya, seperti yang ada dalam syair lagu,” Jolo tiniptip sanggar laho bahen huru-huruan, jolo sinukkun marga asa binoto partuturan.” Mungkin ada yang lalai dengan filosofi itu. Leluhur Batak juga mewariskan berbagai pantang bagi orang Batak bermarga. Na unang, na tokka, naso jadi, dan lain-lain. Kalau itu dilanggar, bisa kualat.
                “Maafkan seribu kali maaf ito. Ternyata kita satu marga. Seharusnya kita mariboto. Ini kesalahan besar, sejak awal tak saling bertanya marga.” Salomo menjabat tangan Lasma erat sekali. Hatinya bagai luluh. Hampir saja terlanjur. Tapi ia mengucap terima kasih pada Yang Maha Kuasa, telah menunjukkan jalan yang benar, agar tak sempat terjerumus ke dalam ngarai tak berampun. Lasma menengadah, berkata sendu,” Aku juga salah ito, tak pernah terpikir menanyakan marga apa itoku. Kita tutup saja cerita kita hingga di sini. Kita jadikan pengalaman berharga mahal. Saling mendoakan semoga Tuhan mengampuni dan tetap menjaga umatnya terhindar dari petaka yangmencoreng nama baik leluhur.”
                Salomo mulai tersenyum. “ Ya itoku yang baik. Biarlah lagu ditakko ho rohakki, kutujukan buat perempuan lain, bukan lagi sama ito.” Lasma tertawa renyah.” Kalaupun lagu itu buatku, tak apa ito, tapi pencuri hati itu                 tak lagi kubiarkan masuk ke rumahku, karena dia akan kusambut dengan palang pintu,ha-ha-ha…”. Keduanya tertawa berkepanjangan. Serepina yang baru muncul heran. Tapi setelah tahu duduk soalnya, ia pun tak bisa menahan tawa berkepanjangan. (LEONARDO TSJOENTAK/Ditulis di Medan, 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar