(STORY Batak) Salomo si Pencuri Hati
Ima mulana. Itulah
awalnya. Mata bertemu mata. Hati berdebur seperti deburnya ombak lautan. Debaran jantung itu membuat
pikiran tak karuan. Gelisah, makan kurang selera, tidur tak nyenyak, terkadang
mata sulit terpejam. Angan pun mengangkasa entah kemana-mana.
Ada
apa ini, tak pernah begini sejak aku menjanda, bisik Lasma bertubi-tubi dalam
hati. Sudah lima tahun ia mempertahankan kejandaannya demi si Butet putrid
semata wayangnya, baru kali ini merasa seperti ditancap panah amor. Padahal,
selama lima tahun ini bolak-balik pria, duda maupun doli-doli, datang menabur
cinta padanya. Semua ditolaknya dengan tegas. “Maaf ito, maaf amang, aku masih
menutup pintu untuk kawin lagi,” begitu jawabnya, senantiasa.
Soalnya,
Lasma takut,nanti si Butet yang imut-imut itu jadi korban. Banyak kejadian,
saat melamar seorang janda beranak, pria menabur iming-iming begini begono.
Akan menyayangi anakmu sepenuh jiwa raga, akan menganggapnya sebagai anak
kandung. Kenyataannya, seperti dituturkan si Serepina temannya yang juga janda,
sejak ia diperistri lagi pensiunan itu, malah suka mengamuk tak menentu. Dua
anak Serepina yang masih berumur empat dan enam tahun sering kena tempeleng.
“Aku menyesal Lasma, menyesal amat. Tapi, mau minta cerai aku juga berpikir
sepuluh kali. Soalnya namaku sudah masuk daftar pension suami baruku itu. Aku
hanya berharap bisa menyekolahkan kedua anakku minimal tamat SMA.”
Awalnya
Lasma terbayang-bayang pada Salomo, pemuda yang sering main gitar di teras
rumah tak jauh dari rumahnya. Pemuda itu baru seminggu menumpang di rumah
kerabatnya marga Hutabarat di Dusun Natundal. Tampang lumayan tampan, bodi
atletis, senyumnya menawan. Tapi, bukan cuma itu yang bikin hati Lasma
tertawan. Kepiawaian Salomo memetik tali gitar sungguh melecut jiwa. Apalagi
suaranya ketika menyanyi di malam hari yang sepi. Semuanya lagu sentimental.
Lagu Mercys bisa, Panbers bisa, Pance Pondaag, lagu Batak apalagi. Lasma merasa
terhibur sekali. Gara-gara Salomo sering menyanyi itu, Lasma sudah sering absen
menongkrongi sinetron di tv.
Lagu
yang paling kerap dilantunkan Salomo, dan ini yang membuat Lasma makin
penasaran dan gelisah, jika Salomo menyanyikan lagu Batak Ditakko ho rohakki. Itu lagu ngetopnya Arvindo Simatupang. Rasanya
mendidih kerinduan Lasma ikut nyanyi bareng dekat Salomo. Dulu juga Lasma
sering ikut kor naposo di gereja. Setiap malam minggu, ramai-ramai sama teman
naposo ke gereja marguruende. Lasma
sering ditunjuk guru huria menarik refrain bernada tinggi. Suara Lasma lumayan
bagus, kata voorganger Lubis memuji.
Malam
ini, lagi-lagi Salomo menyanyikan lagu itu lagi. Sudah jelang tengah malam,
sehingga suaranya terdengar lebih jelas, begitu indah mengalun. “ Ima mulana
sai huingot ho, gabe masihol au tu hooo, ditakko ho ma rohakki ito, dibuat ho
nang holongki…” Aduh mau mati rasanya Lasma mendengarnya. Kenapa ia suka
nyanyikan lagu itu? Jangan-jangan lagu itu sengaja ditujukan pada diriku? Lasma
berandai-andai, tapi jadi malu sendiri. “Ah, nggaklah ah, ngelantur aku ini,”
pekiknya dalam hati.
Serepina
yang memperkenalkan Salomo, suatu malam saat pameran Hari Jadi Tapanuli Utara
di Tarutung. “Salomo,” kata pemuda itu,kalam. “Lasma,” sahut Lasma juga, kalam.
Tanpa menyebut marga. Keduanya saling lempar senyum. Serepina juga senyum pada
Salomo, lalu senyum lagi pada Lasma. Apa-apaan kau Pina, koq senyum sama aku
tadi. “Eeh, memangnya salah senyum?” Lasma mencubit lengan Serepina,” Gak
salah, tapi senyummu padaku seperti ada apa-apanya.”
Ada
surprise malam itu, ketika Salomo naik panggung hiburan. Salomo langsung
menyanyi diiringi band panggung. Ada
tiga lagu, semuanya dinyanyikan dengan baik. Salah satunya lagu lama dari Charles Hutagalung Mercys, berjudul “Love”.Pengunjung
pameran tumpah ruah mengerumuni panggung. Petugas Satpol sibuk mengamankan
situasi, karena ada pejabat dan istri nonton di depan panggung. Suara minta
tambah bergemuruh sambil melambaikan tangan pada Salomo. Pada lagu keempat
Salomo menyanyikan lagu “Ditakko ho rohakki”, yang awalnya dipopulerkan Arvindo
. Di ruang telinga Lasma, lagu itu lebih enak dinyanyikan Salomo dibanding
penyanyi aslinya.
Sepulang
ke rumah, Lasma berkata pada Serepina.” Salomo suka lagu tadi ya Pin. Kalau
nyanyi malam-malam di teras rumah tulang Hutabarat, selalu lagu tadi yang
dinyanyikan. Serepina tersenyum,berkata,” Yah siapa tau lagu itu ditujukan
khusus pada seseorang yang mencuri hatinya. Makna lagu itu kan tentang hati
yang tertawan oleh perasaan cinta.”
Hari-hari
berikutnya, kegelisahan Lasma makin membuatnya galau. Lasma tidak tahu kalau
suatu ketika Serepina ngobrol dengan Salomo tentang dirinya.” Sebenarnya dia
sudah janda ito Lomo, dia cerai dari suaminya yang selingkuh dengan perempuan
lain. Anaknya ada satu, perempuan, namanya Butet,” kata Serepina pada Salomo. “
Aku sudah tau itu koq. Tapi entah kenapa ya aku merasa jatuh cinta sama dia,”
kata Salomo pada malam ketika Serepina datang martandang ketika Salomo sedang
duduk di teras rumah pamannya. Serepina tertawa berderai.” Ah yang benar kamu
ito, begitu banyak anak gadis yang berlari ke pangkuanmu, kenapa cinta sama
janda?”
Salomo
rupanya serius.” Aku gak main-main ito Pina. Sejak pertama melihatnya, aku
terus memikirkannya. Kau tau Pin, seharusnya aku sudah ke Jakarta tiga hari
yang lalu, tapi kutunda sebelum aku bertemu dia empat mata.”
Keseriusan
Salomo disampaikan Serepina pada Lasma.
Jawaban Lasma awalnya bertentangan dengan hati nuraninya. Biasa. Anak perempuan
suka menutup perasaan, apalagi menyangkut pria.”Aku sudah janji pada diriku
Pina, menutup jendela hati pada yang namanya lelaki. Aku ingin fokus
membesarkan si Butet. Aku masih trauma dengan perkawinan pertamaku.”
“
Jangan dustai dirimu Lasma. Dari bola matamu kutahu kau juga memendam perasaan
yang sama seperti dirasakan Salomo. Jangan mau dipecundangi trauma. Kau masih
muda, masih panjang hari-hari yang akan kau jalani. Benar, dari satu sisi
prinsipmu bisa kubenarkan. Tapi di sisi lain, sikapmu tak rasional. Aku yakin
Salomo itu orang baik, aku sudah ngomong sama tulangnya Hutabarat. Salomo sudah
bekerja tetap di perusahaan asing, dia ke sini hanya menghabiskan cutinya.
Siapa tau ini jalan yang diberikan Tuhan mengobati luka hatimu, siapa tau ini
gerbang meraih kebahagiaan yang kau impikan.”
Minggu
pertama September, Serepina mempertemukan Salomo dengan Lasma sore hari bergerimis di sebuah kafe, di tepi
Aek Sigeaon. Tak lama kemudian Serepina meninggalkan Salomo dan Lasma berdua,
alasannya mau beli sesuatu ke toko. “Jangan lama-lama Pin, nanti si Butet
nangis kalau terlalu lama pulang,” kata Lasma. Tak boleh terlalu canggung,pikir
Lasma. Dia kan masih anak muda, sedang aku sudah janda. Kenapa jadi aku yang
grogi?
Percakapan
mengalir lancar seperti lancarnya arus sungai mengalir ke Selatan. Terkadang
ketawa cekikikan manakala ada yang lucu. “Ah, nagodang hatam ito, masyak aku
dipatudos Citra Bunga Lestari. Gooombal,ah,” Lasma merajuk,manja. Mimik
wajahnya di mata Salomo makin menarik. Tampak olehnya bibir Lasma yang tipis
merekah, deretan gigi yang rapi bersih, dan setitik tahi lalat kecil di ujung
bibir sebelah kiri. Tahi lalat itu bermain manja, setiap Lasma tertawa. “Wow
cantik amat janda yang satu ini, “ bisik Salomo. Hatinya berdebur tak karuan.
Dari
pembicaraan basa-basi, akhirnya menjurus pada topik menyentuh privacy. “ Jadi,
ito Lasma sudah cerai betulan sama suami. Maaf to, aku tanyakan ini,” cetus
Salomo. Terdiam sejurus, baru Lasma menjawab,” Ya, aku yang mengambil
keputusan. Karena dia bukan suami yang setia.”
Salomo
menatap mata Lasma, dan Lasma tertunduk. Rasanya tak tahan menatap mata Salomo
. Mata pemuda itu, mata yang menggetarkan hati kewanitaanya. Dalam hati, Lasma
berkata,” Huboto do ito, dos do ra na
dibagas rohatta i, songon ende mi si ganup borngin, nunga ditakko ho rohakki.
Alai au boru-boru do, dang au jumolo mandokkon Ii tu ho ito…” (Aku tahu yang di
dalam hatimu, mungkin sama dengan yang di hatiku, seperti lagu yang kamu
nyanyikan saban malam sudah kamu curi hatiku, tapi aku ini perempuan tak
mungkin aku duluan mengatakannya).
Sudah
jelang malam, Serepina belum juga muncul. Tampaknya sengaja memberi waktu pada
Salomo dan Lasma bicara lebih jauh. Terdengar suara Salomo, lebih pelan, tapi
lebih terbuka.” Kalau ada yang mencintai dan mau menyayangi ito dengan hati
yang tulus, apa jendela hati ito masih terbuka?” Lasma terkesiap, memandang
Salomo dengan jantung berdebar. “Ah, siapalah yang mau mencintai janda seperti
aku ito, kamu ada-ada saja,ah.” Bibir Lasma seperti merengut. Bibir itu
menggiring ilusi Salomo mengangkasa jauh.
Dan,
Salomo berkata, tegas dan pasti.” Aku ito, aku orangnya. Aku tak
main-main. Aku menunda keberangkatanku ke Jakarta, hanya untuk menyampaikan ini
pada ito. Aku takut, jika…” Lasma terbatuk sebentar, lalu meneguk air putih
dari gelas.” Takut kenapa ito,” kata Lasma setelah batuknya reda. Salomo
langsung menyahut,” Takut kalau ito menolak cinta yang ada di sini,” seraya
Salomo menunjuk ke arah dadanya. Lasma tertegun, merasakan aliran darahnya
simpang siur. Ia menundukkan wajahnya. Ada rasa sungkan bertemu pandang.
Saat itu,seorang pria pengendara sepedamotor
muncul dan meminggirkan motornya dekat kafe tenda,langsung menegur Salomo. “
Bah, kompak do hamu angka na mariboto ate,” Lasma kenal pria itu. Masih satu
marga dengannya. Salomo juga kenal pria itu. “Bah horas amanguda. Ro ma uda,
aha do di uda,”kata Lasma. Pria itu malah bertanya pada Salomo,” Ai nandigan do
ho ro puang, datung so godang diboan ho hepeng sian ranto. Hubege nunga tabo
karejom di Jakarta.”
Salomo
tertawa. Berkata dengan dialek kota,” Ah, biasa uda, biasa saja begini terus.”
Pria bernama Marihot itu memotong,” Jangan lagi dilama-lamain, segera cari
calon istri, jangan sampai kau lajang tua, lalap di parlalapan di kota besar.
Bila perlu bilang sama itomu ini biar dia yang cari, gampang kok, apalagi kau
ganteng,” seraya pria itu menoleh pada Lasma. Salomo tertawa-tawa. Lasma
tersenyum-senyum. Maksudnya, Salomo cepat cari jodoh jangan sampai terus
menjomblo.
Setelah
pria itu berlalu, Salomo bertanya pada Lasma,” Kenapa ito panggil uda sama dia.
Aku juga masih panggil amanguda sama dia.” Lasma tertegun sesaat. “ Ya, aku
panggil uda karena dari nomor marga kami, dia masih di bawah tutur bapakku
almarhum,”
Salomo
tiba-tiba berseru spontan,” Lho,kok bisa sama ya. Aku juga masih panggil uda
sama dia, masih satu rumpun ompung dari Sipahutar?” Lasma terkesiap, menatap
Salomo tak berkedip.” Ya ampun, bodohnya aku ini, masyak kita sudah kenal,
ngobrol begini, duduk makan minum bersama, sampai sekarang tak tahu marga
masing-masing. Jadi, ito marga apa sebenarnya?” Salomo menyebutkan marganya.
Lasma membelalakkan kedua mata indahnya.” Haaah? Jadi…jadi, ito…”, Lasma
membekap mulutnya. Tawanya berderai berkepanjangan. Salomo bingung. “Ada apa
ito,kok ada yang lucu?” Lasma masih tertawa sambil menutupi wajah dengan
sebelah tangan. “Bukan hanya lucu ito, tapi konyol!!!
Lasma masih terus tertawa. Salomo
masih bengong. Ada apa ini, ada apa sebenarnya…
Untung
Marihot muncul. Seperti ada yang
menuntunnya harus bertemu Salomo dan Lasna di pinggir sungai itu. Kalau tidak,
dua insan yang ternyata satu marga itu sudah terlanjur basah. Mungkin tak
terlanjur menikah. Terlanjur bermesraan juga, celaka 13. Salomo menepuk-nepuk
kening, berulang kali geleng kepala dan mohon maaf pada Lasma.” Kalau ada kata
lain diatas permintaan maaf, itulah yang mau kukatakan beribu kali lagi,”
katanya. Lasma menimpali,” Sama kita ito LOmo, sama-sama bersalah, masak tak pernah tanya
marga sejak awal…tapi, ya sudahlah, lupakan saja itu ito , yang penting bukan
kesengajaan.”
LELUHUR
Batak telah mewariskan banyak poda yang tak ternilai yang menjadi kekayaan adat
budaya generasi ke generasi.Salah satunya, seperti yang ada dalam syair lagu,”
Jolo tiniptip sanggar laho bahen huru-huruan, jolo sinukkun marga asa binoto
partuturan.” Mungkin ada yang lalai dengan filosofi itu. Leluhur Batak juga mewariskan
berbagai pantang bagi orang Batak bermarga. Na
unang, na tokka, naso jadi, dan lain-lain. Kalau itu dilanggar, bisa
kualat.
“Maafkan
seribu kali maaf ito. Ternyata kita satu marga. Seharusnya kita mariboto. Ini kesalahan besar, sejak
awal tak saling bertanya marga.” Salomo menjabat tangan Lasma erat sekali.
Hatinya bagai luluh. Hampir saja terlanjur. Tapi ia mengucap terima kasih pada
Yang Maha Kuasa, telah menunjukkan jalan yang benar, agar tak sempat terjerumus
ke dalam ngarai tak berampun. Lasma menengadah, berkata sendu,” Aku juga salah
ito, tak pernah terpikir menanyakan marga apa itoku. Kita tutup saja cerita
kita hingga di sini. Kita jadikan pengalaman berharga mahal. Saling mendoakan
semoga Tuhan mengampuni dan tetap menjaga umatnya terhindar dari petaka
yangmencoreng nama baik leluhur.”
Salomo
mulai tersenyum. “ Ya itoku yang baik. Biarlah lagu ditakko ho rohakki,
kutujukan buat perempuan lain, bukan lagi sama ito.” Lasma tertawa renyah.”
Kalaupun lagu itu buatku, tak apa ito, tapi pencuri hati itu tak lagi kubiarkan masuk ke
rumahku, karena dia akan kusambut dengan palang pintu,ha-ha-ha…”. Keduanya
tertawa berkepanjangan. Serepina yang baru muncul heran. Tapi setelah tahu
duduk soalnya, ia pun tak bisa menahan tawa berkepanjangan. (LEONARDO TSJOENTAK/Ditulis di Medan,
2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar